Jas putih, simbol kemuliaan dan dedikasi, kini ternoda oleh tragedi yang begitu memilukan. Kasus bunuh diri seorang dokter muda yang menyuntikkan obat anestesi ke dirinya sendiri akibat perundungan di program Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Diponegoro menjadi luka mendalam bagi dunia kedokteran. Tindakan nekat ini adalah teriakan bisu yang mempertanyakan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam profesi kesehatan. Kasus Program Pendidikan Dokter Spesialis Universitas Diponegoro menjadi cerminan buruk dari sistem pendidikan tinggi kita. Budaya senioritas yang kaku dan tekanan akademik yang tinggi telah menciptakan lingkungan yang toksik, di mana perundungan seolah-olah menjadi hal yang biasa. Korban, yang seharusnya mendapatkan dukungan dan bimbingan, justru mengalami penderitaan yang mendalam. Tindakan bunuh diri yang dilakukannya adalah bukti nyata bahwa kita telah gagal melindungi generasi muda kita.
Aulia Risma, seorang calon dokter yang penuh harapan, harus menghadapi neraka perundungan di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi tempat yang aman. Dimulai dari tugas tambahan yang menumpuk hingga ancaman fisik, perundungan yang dialaminya semakin intensif. Isolasi sosial dan tekanan psikologis yang berkepanjangan membuatnya merasa putus asa dan kehilangan kendali atas hidupnya. Kegagalan institusi dalam memberikan perlindungan dan dukungan yang memadai semakin memperparah situasi. Akhirnya, Aulia memilih untuk mengakhiri hidupnya, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan teman-temannya.
Akar masalah perundungan dalam kasus PPDS Undip adalah perpaduan kompleks dari faktor budaya, struktural, dan psikologis. Budaya senioritas yang kaku, di mana senior memiliki kuasa penuh atas junior, menciptakan hierarki kekuasaan yang tidak sehat dan mendorong perilaku dominasi. Tekanan akademik yang tinggi, dikombinasikan dengan kompetisi yang ketat untuk mendapatkan gelar spesialis, meningkatkan tingkat stres dan kecemasan di kalangan mahasiswa. Hal ini, pada gilirannya, dapat memicu perilaku agresif dan perundungan sebagai mekanisme koping. Selain itu, kurangnya empati dan kepedulian antar sesama mahasiswa, serta norma sosial yang membenarkan praktik perundungan, semakin memperparah situasi. Dinamika psikologis yang kompleks ini menciptakan lingkungan yang subur bagi tumbuhnya perilaku destruktif
Dampak dari kasus perundungan ini tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga meluas ke berbagai aspek kehidupan. Institusi pendidikan kehilangan reputasi baiknya, calon mahasiswa menjadi enggan mendaftar, dan kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter menurun. Lebih jauh lagi, hilangnya potensi sumber daya manusia yang berkualitas akibat perundungan merupakan kerugian besar bagi bangsa.
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, diperlukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan. Pencegahan dini melalui pendidikan tentang bahaya perundungan, pelatihan bagi dosen dan staf, serta pembentukan lingkungan yang inklusif sangat penting. Selain itu, perlu adanya prosedur pelaporan yang jelas dan penanganan kasus yang tegas. Semua pihak, mulai dari mahasiswa, dosen, hingga pimpinan institusi, harus berperan aktif dalam menciptakan lingkungan belajar yang aman dan kondusif.
Kasus kematian Aulia Risma menjadi pengingat pahit bahwa perundungan di lingkungan pendidikan, khususnya dalam program spesialis seperti PPDS, adalah masalah serius yang harus segera diatasi. Akar masalahnya kompleks, melibatkan faktor budaya, struktural, dan psikologis. Untuk mencegah terulangnya tragedi serupa, diperlukan upaya bersama dari seluruh pihak. Mulai dari pemerintah yang perlu membuat regulasi yang lebih tegas, institusi pendidikan yang harus menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif, hingga individu-individu yang harus berani bersuara dan saling mendukung. Mari kita bersama-sama membangun lingkungan pendidikan yang bebas dari perundungan dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

